Create by : @Tim Content Writer PagarRaya'11 |
Fenomena “Standarisasi Tik-Tok” di kalangan Gen Z
Siapa nih yang nggak pernah absen buat scrolling TikTok berjam-jam setiap harinya? Sebagai Gen Z, kita pasti sangat akrab dengan aplikasi satu ini. Laporan dari Good Stats menunjukkan bahwa TikTok menduduki peringkat pertama sebagai aplikasi yang paling banyak diakses, dengan rata-rata sebanyak 38 jam per bulan. Bahkan banyak dari kita juga lebih memilih mencari informasi di TikTok dibandingkan Google.
Namun, tanpa kita sadari, menonton video TikTok berulang kali dapat membuat kita terpapar pada tren yang sama hingga memicu munculnya rasa Fear of Missing Out (FOMO) untuk mengikuti apa yang sedang viral. Seiring waktu, FOMO ini bisa berubah menjadi keinginan untuk menjadikan hidup kita sama dengan apa yang kita lihat di TikTok. Fenomena ini dikenal sebagai "Standarisasi TikTok.”
Dua sisi fenomena “Standarisasi TikTok”
Fenomena ini sering dipandang negatif karena dianggap bisa mempengaruhi cara berpikir Gen Z. Tapi sebelum buru-buru menilai, yuk kita lihat dulu gimana sih dampak TikTok dari berbagai sisi kehidupan yang terpengaruh sama tren di platform ini:
1. Aspek Fisik dan Kecantikan
Ketika mendengar kata "cantik," banyak dari kita langsung terbayang tubuh langsing, wajah putih, mulus, dan simetris. Pandangan ini seringkali dipengaruhi oleh tren seperti glow up challenge, body check, dan istilah "Aura Maghrib." Akibatnya, kita seringkali merasa insecure dan membandingkan diri dengan orang lain, bahkan terjebak dalam perilaku konsumtif dengan membeli produk skincare atau perawatan yang terkadang berbahaya demi hasil instan.
Namun, disisi lain, TikTok juga menjadi platform yang memuat konten positif tentang kecantikan dan kesehatan. Kita pasti sering menemukan konten tentang diet sehat, acne positivity, dan real skin movement yang semakin populer. Hal ini menunjukkan bahwa tiktok tidak hanya menekankan kesempurnaan, tetapi juga berfungsi sebagai ruang untuk meningkatkan kesadaran akan hidup sehat. Misalnya, tutorial makeup dan skincare yang sederhana bisa membantu kita tampil lebih menarik tanpa harus terjebak dalam standar kecantikan yang sempit.
Tren TikTok seperti "typing ganteng," love language, Sungjae test material, dan konten bucin lainnya sering kali menciptakan standar pasangan ideal yang kurang realistis. Selain harus memiliki fisik yang tampan dan mapan secara finansial, pasangan juga diharapkan memenuhi berbagai kriteria lainnya. Akibatnya, banyak dari kita kesulitan menemukan pasangan yang cocok atau merasa tertekan dalam menjalin hubungan karena harus memenuhi ekspektasi tersebut.
Namun, di sisi lain, konten bucin juga membawa dampak positif. Misalnya, konten tentang red flag, ide kencan, dan deep talk dapat membantu kita menjadi lebih selektif, menjaga hubungan tetap menarik, dan mengenal pasangan dengan lebih mendalam. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa memanfaatkan tren ini untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna.
Konten influencer TikTok yang memamerkan gaya hidup mewah telah menjadikan gaya hidup tersebut sebagai standar kesuksesan bagi Gen Z. Akibatnya, banyak dari kita merasa tertekan untuk mengikuti jejak mereka dan merasa gagal jika tidak mampu mencapainya. Dalam beberapa kasus, dorongan untuk memenuhi standar ini bisa sangat kuat, bahkan mendorong tindakan ekstrim seperti mencuri.
Namun, di sisi lain, konten gaya hidup mewah ini juga bisa memotivasi generasi muda untuk lebih giat mengejar kesuksesan. Misalnya, kita mungkin lebih bersemangat bekerja keras jika ada barang impian, seperti iPhone terbaru, yang ingin kita beli. Dengan memanfaatkan peluang kerja secara maksimal, kita bisa meraih kehidupan yang lebih baik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kita.
Viralnya Citayam Fashion Week serta maraknya konten fashion di TikTok seperti OOTD, outfit skena, hingga outfit Y2K memberikan dampak positif karena membuat kita dapat berekspresi dan mengeksplorasi gaya sesuai keinginan. Namun, tren ini tidak selalu cocok untuk ditiru, karena banyak tren yang terlalu kebarat-baratan dan kurang mencerminkan budaya lokal. Selain itu, pergantian tren yang cepat mendorong kita untuk membeli pakaian secara konsumtif hanya karena "lucu" atau sedang tren, tapi jarang atau bahkan tidak digunakan.
TikTok kini bukan hanya menjadi tempat kita untuk mencari hiburan dan ruang untuk berkreasi, tetapi juga dapat menjadi wadah untuk meraih popularitas secara instan dan bahkan menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan. Hal ini memunculkan anggapan bahwa seseorang dianggap sukses atau diakui jika memiliki banyak likes, views, komentar, dan pengikut. Sayangnya, demi viral, banyak yang menormalisasi hal-hal negatif seperti menyebarkan hoax atau membuat konten provokatif.
Akan tetapi, keviralan ini juga membuka peluang besar bagi kita untuk menunjukkan bakat, menyuarakan opini, dan menyebarkan konten positif secara lebih luas sekaligus menjadi sumber penghasilan tambahan. Kamu bisa mulai mencoba membagikan keseharian kamu atau mungkin jika kamu memahami psikologi kamu bisa berbagi pemahaman terkait mental health.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ternyata “Standarisasi TikTok” tidak seburuk seperti yang sering menjadi sorotan. Faktanya, ibarat dua sisi mata uang, TikTok juga memberikan dampak positif yang menawarkan peluang untuk pertumbuhan dan pengembangan diri bagi generasi muda apabila digunakan secara bijak.
Maka dari itu, penting bagi kita, terutama Gen Z, untuk meningkatkan literasi digital dalam menggunakan platform ini agar kita lebih sadar bahwa TikTok hanyalah suatu alat sehingga baik buruk dampaknya itu tergantung kepada kita sebagai penggunanya dan sadar bahwa Standarisasi TikTok bukan tolak ukur diri kita karena kehidupan yang sesungguhnya adalah di dunia nyata bukan di dunia digital.
Jadi, yuk kita gunakan TikTok dengan bijak dan cerdas mulai dari sekarang, agar konten yang kita nikmati menjadi lebih positif dan bermanfaat.
Sampai jumpa di artikel selanjutnya!