18 Jun 2025

The Power of Lifelong Learning — Kenapa Belajar Nggak Boleh Berhenti?

The Power of Lifelong Learning — Kenapa Belajar Nggak Boleh Berhenti?

Create by : @Tim Content Writer PagarRaya'11


Banyak orang berpikir kalau belajar itu hanya urusan sekolah atau kuliah.  Padahal, proses belajar nggak berhenti ketika kita lulus. 

Lifelong learning atau pembelajaran sepanjang hayat adalah konsep dimana kita belajar dan mengembangkan diri di berbagai aspek kehidupan baik secara profesional maupun personal.

Kita hidup di era digital yang serba cepat, di mana informasi selalu berubah dan berkembang. Kalau kita berhenti belajar, kita bisa tertinggal dan kehilangan banyak peluang. Makanya, belajar itu nggak boleh berhenti. 

Kenapa Lifelong Learning itu penting?

1. Dunia terus berubah, kita harus adaptif

Teknologi dan tren industri berkembang pesat. Skill yang relevan hari ini bisa jadi nggak berguna lagi dalam beberapa tahun ke depan. Dengan terus belajar, kita bisa tetap up-to-date dan siap menghadapi perubahan.

2. Meningkatkan kualitas Hidup

Belajar sesuatu yang baru bisa meningkatkan kualitas hidup kita. Misalnya, belajar skill komunikasi bisa membuat kita lebih percaya diri dalam berbicara, atau belajar tentang finansial bisa membantu kita mengatur keuangan dengan lebih baik.

3. Membuka peluang karir yang lebih luas

Dalam dunia kerja, orang yang terus belajar dan mengembangkan skill baru lebih dihargai. Lifelong learning bisa meningkatkan daya saing kita, bahkan membuka peluang untuk berpindah karier ke bidang yang lebih kita minati.

4. Meningkatkan kreativitas dan problem solving

Belajar hal baru bisa memicu kreativitas dan membantu kita menemukan solusi dari berbagai tantangan. Semakin banyak kita belajar, semakin banyak perspektif dan ide yang bisa kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

5. Menjaga kesehatan mental

Belajar nggak cuma soal menambah pengetahuan, tapi juga bisa jadi cara untuk menjaga kesehatan mental. Mengembangkan hobi baru, belajar bahasa asing, atau membaca buku bisa memberi kita kepuasan dan mengurangi stres.


Cara menjadikan Lifelong Learning sebagai kebiasaan

Kita nggak harus selalu belajar dengan cara formal. Ada banyak cara seru untuk menjadikan lifelong learning sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari:

1. Manfaatkan platform online

Sekarang banyak platform yang menyediakan kursus online gratis maupun berbayar, seperti Coursera, Udemy, atau Skillshare. Kamu bisa belajar tentang apapun, mulai dari desain grafis sampai coding. 

2. Baca buku 

Buku adalah sumber pengetahuan tanpa batas. Kalau nggak punya waktu banyak, baca artikel atau e-book juga bisa jadi pilihan. 

3. Ikuti Webinar dan Workshop

Webinar dan workshop bisa jadi cara praktis untuk belajar langsung dari para ahli di bidang tertentu. Plus, kamu bisa berdiskusi dan networking dengan orang-orang baru.

4. Bergabung dengan Komunitas

Bergabung dengan komunitas yang sesuai minat bisa bikin belajar lebih seru. Misalnya, kalau kamu suka menulis, ikut komunitas content writer bisa membantu kamu berkembang lebih cepat.

5. Mencoba hal baru

Keluar dari zona nyaman dan mencoba hal baru bisa mempercepat proses belajar. Misalnya, kalau kamu selalu takut public speaking, coba tantang diri untuk berbicara di depan umum sedikit demi sedikit.


Kesimpulan

Lifelong learning bukan cuma pilihan, tapi kebutuhan di era modern ini. Dengan terus belajar, kita bisa tetap relevan, meningkatkan kualitas hidup, dan membuka banyak peluang baru. Belajar nggak harus selalu formal atau serius yang penting kita punya mindset untuk terus berkembang. Jadi, yuk mulai belajar sesuatu yang baru hari ini.



Belajar nggak harus selalu formal atau serius yang penting kita punya mindset untuk terus berkembang. Jadi, yuk mulai belajar sesuatu yang baru hari ini.

 

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!


Sumber :
(1) Sampai Kapan Kita Harus Belajar? (Tentang Lifelong Learning)
(2) Thwe, W. P., & Kalman, A. (2024). Lifelong learning in the educational setting: A systematic literature review. The Asia-Pacific Education Researcher, 33(2), 407-417.
(3) Eynon, R., & Malmberg, L. E. (2021). Lifelong learning and the Internet: Who benefits most from learning online?. British journal of educational technology, 52(2), 569-583.

Penulis : ERIKA MAULIDYA PUTRI



#LifelongLearning 
#NeverStopGrowing 
#StayCurious 
#KeepLearning 
#SelfImprovement 
#PersonalGrowth 
#KnowledgeIsPower 
#DivisiContentWriterBatch11
#PemudaGatraAryaguna
#PagarRayaBatch'11
#PagarRaya 
#Pagaria

3 Mei 2025

Sisi Lain Dari “Standarisasi TikTok” Yang Jarang Dibahas, Benarkah Seburuk yang Kita Pikirkan?

Sisi Lain Dari “Standarisasi TikTok” Yang Jarang Dibahas, Benarkah Seburuk yang Kita Pikirkan?

Create by : @Tim Content Writer PagarRaya'11

 

Fenomena “Standarisasi Tik-Tok” di kalangan Gen Z

Siapa nih yang nggak pernah absen buat scrolling TikTok berjam-jam setiap harinya? Sebagai Gen Z, kita  pasti sangat akrab dengan aplikasi satu ini. Laporan dari Good Stats menunjukkan bahwa TikTok menduduki peringkat pertama sebagai aplikasi yang paling banyak diakses, dengan rata-rata sebanyak 38 jam per bulan. Bahkan banyak dari kita juga lebih memilih mencari informasi di TikTok dibandingkan Google.


Namun, tanpa kita sadari, menonton video TikTok berulang kali dapat membuat kita terpapar pada tren yang sama hingga memicu munculnya rasa Fear of Missing Out (FOMO) untuk mengikuti apa yang sedang viral. Seiring waktu, FOMO ini bisa berubah menjadi keinginan untuk menjadikan hidup kita sama dengan apa yang kita lihat di TikTok. Fenomena ini dikenal sebagai "Standarisasi TikTok.”

  

Dua sisi fenomena “Standarisasi TikTok”

Fenomena ini sering dipandang negatif karena dianggap bisa mempengaruhi cara berpikir Gen Z. Tapi sebelum buru-buru menilai, yuk kita lihat dulu gimana sih dampak TikTok dari berbagai sisi kehidupan yang terpengaruh sama tren di platform ini:


1. Aspek Fisik dan Kecantikan

Ketika mendengar kata "cantik," banyak dari kita langsung terbayang tubuh langsing, wajah putih, mulus, dan simetris. Pandangan ini seringkali dipengaruhi oleh tren seperti glow up challenge, body check, dan istilah "Aura Maghrib." Akibatnya, kita seringkali merasa insecure dan membandingkan diri dengan orang lain, bahkan terjebak dalam perilaku konsumtif dengan membeli produk skincare atau perawatan yang terkadang berbahaya demi hasil instan.


Namun, disisi lain, TikTok juga menjadi platform yang memuat konten positif tentang kecantikan dan kesehatan. Kita pasti sering menemukan konten tentang diet sehat, acne positivity, dan real skin movement yang semakin populer. Hal ini menunjukkan bahwa tiktok tidak hanya menekankan kesempurnaan, tetapi juga berfungsi sebagai ruang untuk meningkatkan kesadaran akan hidup sehat. Misalnya, tutorial makeup dan skincare yang sederhana bisa membantu kita tampil lebih menarik tanpa harus terjebak dalam standar kecantikan yang sempit.



2. Aspek Pasangan

Tren TikTok seperti "typing ganteng," love language, Sungjae test material, dan konten bucin lainnya sering kali menciptakan standar pasangan ideal yang kurang realistis. Selain harus memiliki fisik yang tampan dan mapan secara finansial, pasangan juga diharapkan memenuhi berbagai kriteria lainnya. Akibatnya, banyak dari kita kesulitan menemukan pasangan yang cocok atau merasa tertekan dalam menjalin hubungan karena harus memenuhi ekspektasi tersebut.


Namun, di sisi lain, konten bucin juga membawa dampak positif. Misalnya, konten tentang red flag, ide kencan, dan deep talk dapat membantu kita menjadi lebih selektif, menjaga hubungan tetap menarik, dan mengenal pasangan dengan lebih mendalam. Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa memanfaatkan tren ini untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna.


3. Aspek Gaya Hidup

Konten influencer TikTok yang memamerkan gaya hidup mewah telah menjadikan gaya hidup tersebut sebagai standar kesuksesan bagi Gen Z. Akibatnya, banyak dari kita merasa tertekan untuk mengikuti jejak mereka dan merasa gagal jika tidak mampu mencapainya. Dalam beberapa kasus, dorongan untuk memenuhi standar ini bisa sangat kuat, bahkan mendorong tindakan ekstrim seperti mencuri.


Namun, di sisi lain, konten gaya hidup mewah ini juga bisa memotivasi generasi muda untuk lebih giat mengejar kesuksesan. Misalnya, kita mungkin lebih bersemangat bekerja keras jika ada barang impian, seperti iPhone terbaru, yang ingin kita beli. Dengan memanfaatkan peluang kerja secara maksimal, kita bisa meraih kehidupan yang lebih baik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kita.


4. Aspek Fashion 

Viralnya Citayam Fashion Week serta maraknya konten fashion di TikTok seperti OOTD, outfit skena, hingga outfit Y2K memberikan dampak positif karena membuat kita dapat berekspresi dan mengeksplorasi gaya sesuai keinginan. Namun, tren ini tidak selalu cocok untuk ditiru, karena banyak tren yang terlalu kebarat-baratan dan kurang mencerminkan budaya lokal. Selain itu, pergantian tren yang cepat mendorong kita untuk membeli pakaian secara konsumtif hanya karena "lucu" atau sedang tren, tapi jarang atau bahkan tidak digunakan. 


5. Aspek Pencapaian Sosial 

TikTok kini bukan hanya menjadi tempat kita untuk mencari hiburan dan ruang untuk berkreasi, tetapi juga dapat menjadi wadah untuk meraih popularitas secara instan dan bahkan menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan. Hal ini memunculkan anggapan bahwa seseorang dianggap sukses atau diakui jika memiliki banyak likes, views, komentar, dan pengikut. Sayangnya, demi viral, banyak yang menormalisasi hal-hal negatif seperti menyebarkan hoax atau membuat konten provokatif. 


Akan tetapi, keviralan ini juga membuka peluang besar bagi kita untuk menunjukkan bakat, menyuarakan opini, dan menyebarkan konten positif secara lebih luas sekaligus menjadi sumber penghasilan tambahan. Kamu bisa mulai mencoba membagikan keseharian kamu atau mungkin jika kamu memahami psikologi kamu bisa berbagi pemahaman terkait mental health.



Dari penjelasan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ternyata “Standarisasi TikTok” tidak seburuk seperti yang sering menjadi sorotan. Faktanya, ibarat dua sisi mata uang, TikTok juga memberikan dampak positif yang menawarkan peluang untuk pertumbuhan dan pengembangan diri bagi generasi muda  apabila digunakan secara bijak. 


Maka dari itu, penting bagi kita, terutama Gen Z, untuk meningkatkan literasi digital dalam menggunakan platform ini agar kita lebih sadar bahwa TikTok hanyalah suatu alat sehingga baik buruk dampaknya itu tergantung kepada kita sebagai penggunanya dan sadar bahwa Standarisasi TikTok bukan tolak ukur diri kita karena kehidupan yang sesungguhnya adalah di dunia nyata bukan di dunia digital.

 


Jadi, yuk kita gunakan TikTok dengan bijak dan cerdas mulai dari sekarang, agar konten yang kita nikmati menjadi lebih positif dan bermanfaat.

 

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!


Sumber :
(1) Antara Inspirasi dan Ketergantungan: Dampak Standar Tiktok pada Generasi Z
(2)
Fenomena Standar TikTok dan Pengaruhnya ke Gen Z, https://www.kompasiana.com/ibnuumarfahdri17019/67ac98c0c925c415a234edb2/fenomena-standar-tiktok-dan-pengaruhnya-ke-gen-z
(3) Pengaruh Tiktok Terhadap Standar Kehidupan Remaja
(4) Standarisasi TikTok: Mencemari Mindset Anak Muda
(5) Standar TikTok Merusak Mindset, Fakta atau Mitos?

Penulis : FANI AGISTA HERYANI



#GenZ 
#StandarisasiTikTok
#BijakBersosialMedia 
#DivisiContentWriterBatch11
#PemudaGatraAryaguna
#PagarRayaBatch'11
#PagarRaya 
#Pagaria
Gen Z Budak Teknologi? Nyatanya Ini yang Bisa Dilakukan Gen Z dengan Teknologi

Gen Z Budak Teknologi? Nyatanya Ini yang Bisa Dilakukan Gen Z dengan Teknologi

Create by : @Tim Content Writer PagarRaya'11


Siapa Gen Z?

Generasi Z atau biasa disingkat dengan Gen Z adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012. Mereka lahir setelah generasi milenial dimana teknologi semakin berkembang. Jadi tidak heran bahwa generasi ini hidup berdampingan dengan teknologi.


Tapi, memang iya Gen Z malah jadi ‘budak’ teknologi? 


Perkembangan Gen Z dengan teknologi

Seperti yang kita semua tau bahwa teknologi semakin hari semakin berkembang. Banyak perubahan yang terjadi pada sektor teknologi seiring bertambahnya tahun. Gen Z yang hidup di era berkembangnya teknologi ini, tentunya tidak bisa tutup mata. Hampir semua orang yang termasuk golongan Gen Z ini menggunakan teknologi, baik mereka yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa. 


    Teknologi yang paling banyak digunakan saat ini adalah media sosial dan internet. Bahkan bisa dilihat di sekeliling kita bahwa hampir semua orang selalu menggenggam ponsel di tangan, bahkan anak SD pun kebanyakan sudah memiliki ponsel sendiri. Sebetulnya bukan hal yang mengherankan juga, karena di ponsel semua orang dapat mengeksplor dunia tanpa harus berkeliling. Namun, dengan adanya teknologi ponsel ini apakah membuat Gen Z jadi orang yang malas dan maunya serba instan? 


    Zaman sekarang banyak aplikasi hiburan yang bermunculan. Contohnya seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan masih banyak lagi. Dilansir dari goodstats.id "rata-rata Gen Z menghabiskan waktu di media sosial adalah 6,6 jam, bahkan 11% dari mereka menghabiskan waktu 15 jam per hari untuk berselancar di media sosial". Angka tersebut menunjukkan seakan Gen Z tidak bisa lepas dari media sosial. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena jika terus-menerus begitu, bisa-bisa Gen Z akan menjadi kecanduan dan melupakan urusan penting yang lain.


Cara Gen Z menggunakan teknologi

Emang kalian yakin waktu sebanyak itu yang dihabiskan cuma buat hiburan aja? Nyatanya tidak. Banyak hal berguna yang telah dilakukan Gen Z melalui media sosial dan platform lainnya. Bisa dibilang Gen Z sangat baik memanfaatkan platform-platform yang ada untuk perkembangan diri. Jadi bukan menjadi budak, Gen Z bisa membuat teknologi tunduk pada mereka. Dan ini dia sekumpulan hal yang bisa dilakukan oleh Gen Z menggunakan teknologi.


1. Sebagai platform bisnis 

Banyak sekali bisnis yang dibuat oleh Gen Z melalui media sosial. Mereka memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan dan menjual produk yang mereka punya. Konten-konten promosi mereka pun sangat unik dan inovatif, sehingga mampu menarik banyak konsumen. Mayoritas bisnis yang mereka jalani adalah berjualan, entah itu baju, buket, gelang, hijab, dan lain-lain. 


2. Memperluas relasi dan pengembangan diri

Siapa bilang bermain media sosial jadi nolep? Malahan Gen Z memanfaatkannya untuk memperluas relasi mereka. Banyak komunitas berbasis online yang dapat ditemui di internet. Salah satunya adalah Pagar Raya ini. Dengan bergabung di suatu komunitas, Gen Z bisa memperluas relasi mereka ke berbagai daerah bahkan bisa sampai ke luar negeri. Tidak hanya memperluas relasi, Gen Z juga bisa mengembangkan diri mereka karena di komunitas online tersebut ada kegiatan yang bisa meningkatkan skill profesional sehingga bisa membangun personal branding yang bagus.


3. Menyediakan konten hiburan 

Tidak hanya senang berburu hiburan, Gen Z juga bisa menyediakan konten yang dapat menghibur pengguna media sosial, atau bisa disebut sebagai content creator. Bahkan dari konten-konten yang dibuat, bisa menjadi ladang cuan. Karena banyak brand-brand yang akan menggunakan mereka sebagai brand ambassador untuk menarik pelanggan. Jadi gimana? Kamu tertarik untuk jadi content creator juga? 


4. Media informatif 

Tidak hanya menyediakan konten hiburan saja, Gen Z juga memanfaatkan media sosial sebagai media yang informatif. Biasanya mereka akan membuat video singkat yang berisi suatu informasi penting. Videonya pun dibuat semenarik mungkin seperti ala Gen Z pada umumnya. Atau bisa juga berupa tulisan singkat yang memuat informasi dengan desain unik. Banyak informasi baru yang dapat kita peroleh dari media sosial, dan Gen Z berhasil mengemasnya dengan cara yang unik.



Gen Z memang tumbuh di era teknologi yang sedang berkembang pesat, dan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka tidak bisa lepas dari adanya teknologi ini. Namun, bukan berarti hal itu membuat Gen Z menjadi generasi ‘budak’ teknologi.

 

Dengan semua ide kreatifnya, Gen Z berhasil membuktikan bahwa mereka bisa menaklukan teknologi. Jadi, masih tetap berpikir bahwa Gen Z ‘budak’ teknologi?

 

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!


Sumber :
(1) Bagaimana Gen Z Memanfaatkan Teknologi untuk Keseharian dan Bisnis?
(2)
Gen Z Paling Rajin Konsumsi Media, Daya Fokus Paling Rendah


Penulis : AULIYA NISA' NUR ROHMAH

#GenZ 
#Unik
#Kreatif
#Teknologi
#MediaSosial 
#PersonalBranding 
#WhatGenZisdoingwithtechnology
#DivisiContentWriterBatch11
#PemudaGatraAryaguna
#PagarRayaBatch'11
#PagarRaya 
#Pagaria

25 Apr 2025

Gen Z itu “Lembek”? Lalu, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Gen Z itu “Lembek”? Lalu, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Create by : @Tim Content Writer PagarRaya'11

Gen Z dan Julukannya

    Julukan tak berkesudahan menerpa Generasi Z atau yang biasa dikenal dengan Gen Z. Label-label seperti "mudah tantrum", "tidak tahan banting", atau bahkan yang lebih pedas, "lembek" seolah menjadi cap generik yang mudah ditempelkan. Nah, sebagai Gen Z pasti kalian sering mendengar keluhan tentang betapa sulitnya Gen Z menghadapi tekanan, betapa cepatnya mereka merasa tersinggung, dan betapa rapuhnya mental mereka dibandingkan generasi sebelumnya. 


    Namun, sebelum ikut hanyut dalam arus generalisasi yang dangkal ini, benarkah demikian adanya? Dan jika memang ada tantangan yang dihadapi Gen Z, layakkah julukan ini sepenuhnya meletakkan tanggung jawab di pundak Gen Z sendiri? Nah, di konten kali ini akan mengupas tuntas stereotip "lembek" yang melekat pada Gen Z, menelisik lebih dalam akar permasalahannya, dan yang terpenting, mempertanyakan narasi yang cenderung menyalahkan individu alih-alih melihat gambaran yang lebih besar.


      Alih-alih tenggelam dalam kekecewaan atau amarah, ada langkah-langkah konstruktif yang bisa diambil untuk membuktikan ketangguhan dan membangun mental yang lebih resilien. Bagaimana caranya menghadapi julukan "lembek" ini dengan kepala tegak dan mental baja?


Nah, di bagian selanjutnya, ada beberapa tips praktis yang dapat menjadi panduan bagi Gen Z untuk merespons stereotip negatif, membangun kepercayaan diri, dan menunjukkan kepada dunia bahwa generasi ini jauh lebih kuat dari sekadar label yang disematkan.


1. Kenali emosi dengan
minfull

Tidak ada yang salah dengan merasakan emosi, baik itu kekecewaan, frustrasi, maupun kemarahan. Justru, kunci ketangguhan adalah kemampuan untuk mengenali emosi tersebut, memberinya ruang, dan mengelolanya dengan cara yang sehat. Pelajari teknik-teknik mindfulness, meditasi sederhana, atau bahkan sekadar menarik napas dalam-dalam saat emosi meluap.


2. Fokus hanya pada pencapaian diri sendiri

Terlalu fokus pada kritik dan label negatif hanya akan menguras energi dan menurunkan semangat. Alihkan perhatian pada kekuatan, bakat, dan pencapaian yang telah kalian raih, sekecil apapun itu. Buat catatan tentang hal-hal yang membuat kalian bangga pada diri sendiri.


3. Cari koneksi dan dukungan dari community yang positif

Lingkungan pergaulan memiliki pengaruh besar pada kesehatan mental. Kelilingi diri kalian dengan teman, keluarga, atau mentor yang suportif, yang menghargai kalian apa adanya dan memberikan dukungan konstruktif. Jadi, jangan ragu untuk berbagi keluh kesah dengan orang-orang terpercaya, ya!


4. Filter semua kritik yang memang dibutuhkan buat kamu

Tidak semua kritik bersifat destruktif. Cobalah untuk melihat apakah ada kebenaran dalam kritikan yang dilontarkan. Jika memang ada, jadikan itu sebagai bahan evaluasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, penting untuk memiliki filter yang kuat. Abaikan komentar-komentar yang bersifat merendahkan, tidak konstruktif, atau hanya didasarkan pada stereotip belaka. 


5. Tunjukkan resiliensi saat kondisi under pressure

Cara terbaik untuk membungkam stereotip adalah dengan tindakan nyata. Teruslah belajar dan mengembangkan diri, hadapi tantangan dengan berani (tentunya dengan persiapan yang matang), dan tunjukkan kegigihan dalam mencapai tujuan. Setiap kali kalian berhasil mengatasi kesulitan, kalian tidak hanya membuktikan pada diri sendiri bahwa kalian kuat, tetapi juga perlahan-lahan mematahkan label "lembek" yang mungkin disematkan. 


Dari melakukan praktik mindfullness dan menunjukkan resiliensi, Gen Z dapat menjadikan julukan “lembek” sebagai bentuk validasi kalau itu semua nggak benar.



Gen Z harus ingat kalau setiap generasi memiliki tantangannya sendiri, dan kekuatan sejati terletak pada bagaimana kita merespons dan bangkit dari setiap kesulitan.

 

Sampai jumpa di artikel selanjutnya!


Sumber :
(1) Disebut Lembek, Ini yang Sebenarnya Dicari Gen Z dalam Pekerjaan

(2) Benarkah Gen Z Generasi yang Lembek dan Mudah Menyerah, Apa Kata Psikolog?

(3) Kesehatan Mental: Alasan Gen Z Dikenal Sebagai Generasi yang Lembek

Penulis : KAMILLA MAULIDYA HERMADANTI


#GenZ
#Lembek
#KesehatanMental 
#GenStrawberry 
#MentalHealth 
#TipsTerkini 
#ThingSketch
#DivisiContentWriterBatch11
#PemudaGatraAryaguna
#PagarRayaBatch'11
#PagarRaya 
#Pagaria